no fucking license
Bookmark

Maaf teman.. saya sakit..


Sudah hampir 3 minggu saya sakit..
Pertama gejala DB dengue, setelah tes darah ternyata dah hilang dan trombosit dah baik. Tapi, setelah dilakukan cek darah (iihhh.. aku anti jarum suntik sebenarnya) ternyata bukan cuman kena Tipes (aku ndak tahu istilahnya dokter), tapi aku juga kena sakit HATI (LIVER). yang konon kebanyakan makan yang pahit-pahit kurang manis-manis :)
Kata si Dokter SGPT-SGOT ku tinggi banget.. bayangkan kalo normal saja cuma 35 eh punyaku 1500an.. kebayang nggak?
yach,, untuk yang belum merasakannya.. jangan sampai kaget seperti saya.. jadi klo punya uang sedikit minimal cek darah ya.. atau kalo tidak punya minimal donor darah.. biasanya dari sana diberi tahu ada apa dengan darah kita..
oia.. aku dak perlu khawatir karena ada artikel menarik tentang SGPT-SGOT.. nih dia kutipan dari gizi.net


SGOT-SGPT Sering Bikin Kecele


Selasa, 11 Juli, 2006 oleh: gmikro
SGOT-SGPT Sering Bikin Kecele
Gizi.net - Dalam dunia kesehatan SGOT-SGPT bukanlah istilah baru. Meski begitu masih banyak orang kecele dengan angka-angka yang ditampilkannya.

Pemilik angka SGOT-SGPT di atas normal dianggap sakit. Sebaliknya, kadar di bawah normal diyakini sehat. Padahal kenyataannya belum tentu begitu.

"Wah gawat, SGPT gue tinggi! Padahal gue enggak ngerasa sakit apa-apa tuh,” keluh Indra, pelamar kerja yang baru saja melakukan tes kesehatan. Wajahnya gusar, memandangi hasil tes laboratorium. Kegusaran Indra bak mewakili kegusaran banyak orang, yang serta-merta risau ketika tahu kadar SGPT dan SGOT-nya melampaui batas atas normal (BAN).

SGOT-SGPT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan terutama oleh sel-sel hati. Bila sel-sel liver rusak, misalnya pada kasus hepatitis atau sirosis, biasanya kadar kedua enzim ini meningkat. Makanya, lewat hasil tes laboratorium, keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada hati.

Penyimpangan Populasi

Kembali pada keluhan Indra, apakah SGOT-SGPT yang melampaui BAN memang pertanda awal datangnya malapetaka?

Jawabannya, belum tentu! SGOT-SGPT yang berada sedikit di atas normal tak selalu menunjukkan seseorang sedang sakit. Bisa saja peningkatan itu terjadi bukan akibat gangguan pada liver. “Kalau kita tes darah sesudah main bola atau kerokan, sangat mungkin SGOT-SGPT kita bakal naik,” kata dr. Rino A. Gani, Sp.PD-KGEH, hepatolog Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Kadar SGOT-SGPT juga gampang naik turun. Mungkin saja saat diperiksa, kadarnya sedang tinggi. Namun setelah itu, dia kembali normal. Pada orang lain, mungkin saat diperiksa, kadarnya sedang normal, padahal biasanya justru tinggi. Karena itu, satu kali pemeriksaan saja sebenarnya belum bisa dijadikan dalil untuk membuat kesimpulan.

Angka BAN pun dibuat berdasarkan statistik. Di dalam statistik selalu ada simpangan baku. Artinya, ada sebagian kecil orang yang memang berbeda dari kebanyakan orang. Menurut American Gastroenterological Association, penyimpangan ini terjadi pada 1- 4% dari populasi. Mereka punya nilai SGOT-SGPT yang sedikit lebih tinggi dari BAN, tapi tidak menunjukkan gejala sakit.

Berarti, kadar SGOT-SGPT sedikit di atas normal boleh dianggap enteng?

Jelas tidak! Meski bisa saja sebaliknya, seseorang mengidap sakit liver kronis, walaupun kadar SGOT-SGPT-nya normal. “Sekitar 30% penderita hepatitis C kronis memiliki kadar ALT (SGPT) normal,” ungkap Goerge K. K. Lau, guru besar Department of Medicine, Queen Mary Hospital, University of Hong Kong, di kongres Asian Pacific Association for the Study of Liver (APASL) 2005 di Bali, belum lama ini.

Sisanya, 40% penderita hanya menunjukkan kenaikan sedikit SGPT di atas BAN. Rino pun sependapat dengan George Lau.

“Pada sekitar 60 - 70% pasien kami, nilai ALT (SGPT)-nya hanya sekitar 1,3 - 1,5 kali batas atas normal,” ungkapnya. Meski tidak begitu “tinggi” (tak sampai dua kali BAN), mereka ternyata sudah positif terinfeksi virus hepatitis C.

Tak cuma di hati

Gangguan hati sendiri bentuknya berjenis-jenis, dengan jumlah penderita tak sedikit. Jumlah pengidap hepatitis C saja sekitar 3% dari populasi. Belum lagi hepatitis A dan B yang jumlahnya jauh lebih banyak. Apalagi jika ditambah dengan perlemakan hati, sirosis, intoksikasi obat, fibrosis hati, dan penyakit lain yang nama-nya jarang kita dengar.

Penyakit-penyakit tadi umumnya ditandai dengan peningkatan angka SGOT-SGPT. Namun, kedua enzim itu tidak 100% dihasilkan oleh liver. Sebagian kecil juga diproduksi oleh sel otot, jantung, pankreas, dan ginjal. Itu sebabnya, jika sel-sel otot mengalami kerusakan, kadar kedua enzim ini pun meningkat.

Rusaknya sel-sel otot bisa disebabkan oleh banyak hal, misalnya aktivitas fisik yang berat, luka, trauma, atau bahkan kerokan. Ketika kita mendapat injeksi intra muskular (suntik lewat jaringan otot), sel-sel otot pun bisa mengalami sedikit kerusakan dan meningkatkan kadar enzim transaminase ini. Pendek kata, ada banyak faktor yang bisa menyebabkan kenaikan SGOT-SGPT.

Dibandingkan dengan SGOT, SGPT lebih spesifik menunjukkan ketidakberesan sel hati, karena SGPT hanya sedikit saja diproduksi oleh sel nonliver. Biasanya, faktor nonliver tidak menaikkan SGOT-SGPT secara drastis. Umumnya, tidak sampai 100% di atas BAN. Misalnya, jika BAN kadar SGPT adalah 65 unit/liter (u/l), kenaikan akibat bermain sepakbola lazimnya tak sampai dua kali lipat.

Jika kadarnya melampaui dua kali lipat, ini pertanda mulai menyalanya lampu merah yang harus diwaspadai. Jangan “sakit hati” jika dokter curiga kita mengidap sakit hati. BAN sendiri bisa berbeda antarlaboratorium. Jika pernah tes darah di dua laboratorium yang berbeda, dan mendapatkan BAN yang berbeda, Anda tak perlu heran.

“Batas atas normal tergantung pada reagen dan alat yang digunakan,” jelas Rino. Di rumah sakit tertentu, BAN kadar SGPT bisa 40 u/l, tapi di klinik lain bisa 65 u/l. Ini hanya masalah teknis pemeriksaan. itu sebabnya, kita tak bisa menyatakan tinggi rendahnya SGOT-SGPT dari angka absolut, tetapi dari nilai relatif (dibandingkan dengan BAN).

Bunuh diri terencana

Sebagaimana organ lain, hati punya mekanisme pertahanan diri. Ketika diserang virus, ia berusaha melawan. Jika kalah, ia punya dua pilihan: berjuang sampai akhir hayat atau bunuh diri. Pada hepatitis A dan B, hati mengambil pilihan pertama, berjuang sampai mati.

Begitu sel-sel liver mati, dindingnya jebol. dan akhirnya hati mengalami peradangan. Kondisi ini menyebabkan naiknya kadar SGOT-SGPT di dalam darah. Karena kadarnya meningkat, dokter lebih mudah mendiagnosis.

Namun pada hepatitis C, urusannya lebih kompleks. Tak semua sel hati merespons kekalahan dengan tetap berjuang sampai mati. Sebagian yang lain bunuh diri secara terencana. Dalam istilah kedokteran itu disebut apotosis (programmed cell death). Acara bunuh diri ini bukan tanpa tujuan. Dengan bunuh diri, sel-sel liver berusaha “membunuh” virus secara tidak langsung.

Salah satu kelemahan virus yaitu tidak punya mekanisme sendiri dalam berkembang biak. Mereka beranak pinak dengan cara memanfaatkan mekanisme hidup sel makhluk hidup lainnya. Dalam kasus hepatitis, sel yang ditumpangi adalah sel-sel liver. Dengan bunuh diri, sel liver berusaha membuat virus tak bisa berkembang biak.

Karena bunuh diri, sel-sel hati tidak pecah, tapi menciut. Yang terjadi selanjutnya bukan proses peradangan, melainkan pengerutan. Karena liver tak meradang, kadar SGPT pun tak terpengaruh. Itulah yang menyebabkan penderita hepatitis C bisa memiliki kadar SGPT normal, meskipun sebenarnya ia telah menderita penyakit kronis.

Itu pula yang membuat dokter harus berulang-ulang membetulkan letak kacamata, karena sulit menegakkan diagnosis.

Perlu tes lain

Menurut Rino, SGOT-SGPT hanya menggambarkan tingkat kerusakan sel hati. Kedua enzim lain itu tak bisa menggambarkan tingkat kemampuan sel hati untuk meregenerasi diri. Dalam kondisi normal, sel-sel tubuh memiliki kemampuan regenerasi. Jika rusak, mereka akan menggantinya dengan sel-sel baru. Kemampuan regenerasi inilah yang akan mengimbangi kerusakan sel.

Hal itulah yang tidak tergambar dari hasil tes SGOT-SGPT. Bisa saja seseorang mengalami kenaikan SGOT-SGPT hingga di atas normal, tapi sebetulnya liver tidak dalam kondisi sakit, karena sel yang telah mati segera diganti oleh sel baru.

Meski kenaikan SGOT-SGPT bisa disebabkan banyak faktor, Rino menandaskan, peningkatan keduanya harus tetap diwaspadai. Sepanjang masih punya dua mata, kita tak boleh memandangnya dengan sebelah mata. Meski hanya sedikit di atas normal pun, penyebabnya harus ditelusuri, sampai yakin memang tidak ada penyakit yang menyerang. Kadar di atas normal jadi pertanda kita harus mencurigai adanya gangguan pada hati.

Pada hepatitis C, jika SGPT sampai dua kali lipat dari BAN, para hepatolog sepakat untuk mengambil tindakan terapi. Untuk kasus SGPT normal atau sedikit di atas BAN, terjadi perbedaan mazhab. Mazhab pertama mengharuskan terapi segera. Mazhab kedua, pasien harus dipantau secara ketat sebelum diterapi.

Selama masa pemantauan itu, pasien harus 4 - 5 kali pergi ke laboratorium untuk menjalani tes fungsi hati tiap 1 - 2 bulan sekali. Tes fungsi hati di sini bukan hanya tes SGOT dan SGPT. Ada banyak komponen kimia darah lain yang perlu diperiksa. Untuk memastikan, dokter perlu melakukan biopsi. Secuplik sampel jaringan diambil dari liver untuk diperiksa lewat mikroskop.

Jika hasil pemeriksaan menunjukkan nilai normal, pasien boleh sedikit lega hati. Ia hanya perlu kontrol setahun lagi. Namun, jika rangkaian pemeriksaan menunjukkan pasien telah sakit hati, ia harus berbesar hati untuk menjalani terapi.

*****

Minum Jamu Pun Ada Aturannya

Sudah menjadi kelaziman di masyarakat kita, salah satu upaya menurunkan SGOT-SGPT dilakukan dengan minum jamu. Menurut Rino, persoalan jamu ini cukup dilematis. Di satu sisi, pasien berhak minum jamu atas kehendak sendiri. Namun di sisi lain, jamu bisa mengganggu interpretasi dokter dalam menegakkan diagnosis.

Jamu-jamu tertentu memang terbukti bisa menurunkan kadar SGOT-SGPT. Jika kenaikan SGOT-SGPT hanya bersifat sementara, minum jamu tak akan menimbulkan masalah. Problem akan muncul jika kenaikan SGOT-SGPT memang disebabkan oleh penyakit liver yang masih malu-malu untuk membuka identitas. Dalam keadaan itu, jamu bisa menimbulkan efek masking. SGOT-SGPT turun, tapi sebetulnya proses perusakan liver terus terjadi.

Bila kadar SGOT turun, dokter mungkin akan menganggap pasien sehat-sehat saja. Padahal, mungkin ia telah menderita penyakit kronis. Akibatnya pasien tidak mendapat terapi yang diperlukan. Hal itu akan merugikan si pasien sendiri.

Jalan tengahnya, Rino menyarankan agar pasien memberi tahu dokter ketika minum jamu. Dengan begitu, proses diagnosis tak terganggu. Selain itu, Rino juga menyarankan pasien mengurangi aktivitas fisik yang berat. Jika ada undangan bermain futsal, misalnya, lupakan saja untuk sementara. *** (Intisari)

Sumber : Kompas Cyber Media
Tanggal : 10 Juli 2006





Post a Comment

Post a Comment