Sore itu, mentari mulai condong ke barat, menyisakan cahaya jingga yang hangat di ufuk. Aku duduk di beranda kafe kecil bernama Kopi Ong, cangkir kopi hitam panas di tangan, uapnya menari-nari di udara sejuk. Rasa kopi robusta khas kafe ini begitu kuat namun lembut, dengan sentuhan asam yang menyegarkan di ujung lidah. Setiap teguk seperti pelukan hangat, membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk hari. Aroma kopinya yang pekat seolah mengundang untuk menikmati momen ini lebih dalam, ditemani hembusan angin sore yang membelai wajah.
Di depan kafe, rel kereta api membentang, menjadi pemandangan yang tak biasa. Sesekali, suara deru kereta api lewat, membelah keheningan sore dengan ritme yang terasa nostalgik. Aku menyaksikan gerbong-gerbong berwarna-warni melaju perlahan, membawa cerita penumpang yang tak pernah kutahu. Ada sesuatu yang magis ketika menyeruput kopi sambil memandang kereta api melintas, seolah waktu berjalan lebih lambat, memberi ruang untuk merenung dan menikmati keindahan sederhana.
Cahaya senja mulai memudar, dan lampu-lampu di kafe mulai menyala, menciptakan suasana yang semakin intim. Kopi di cangkirku masih setia menemani, kini terasa lebih kaya dengan aftertaste karamel yang halus. Pemandangan kereta api yang sesekali melintas di kejauhan, ditambah siluet pegunungan yang samar, membuat sore ini terasa sempurna. Aku tak bisa menahan senyum, merasa beruntung bisa menemukan tempat seperti ini—di mana secawan kopi dan pemandangan kereta api menjadi kombinasi ajaib yang menyegarkan jiwa.
Kopi Ong bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi, tetapi juga untuk mencuri waktu dari rutinitas. Sore itu, aku belajar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal kecil: aroma kopi yang menggoda, suara kereta yang melaju, dan pemandangan senja yang menenangkan. Aku meninggalkan kafe dengan hati ringan, berjanji pada diri sendiri untuk kembali, mungkin di sore lain, dengan cangkir kopi yang sama dan pemandangan kereta api yang tak pernah membosankan.
https://maps.app.goo.gl/xNkidJ3Me4HndQMy9
Post a Comment